Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger


Fast Track Solusindo

Fast Track Solusindo
Rent Car

Jumat, 29 Oktober 2010

Bahasa Ibu Sebagai Kunci Pengembangan Mental Tools


By : Moch Salamun Hendrawan, S.Psi, C.NLP, C.Ht


            Artikel ini saya tulis untuk memberikan bahan pemikiran pada para orangtua dan pendidik mengenai pentingnya bahasa untuk perkembangan anak. Sebagai sesama orangtua dan juga seorang pendidik sudah tentu kita ingin memberikan yang terbaik bagi putra-putri kita. Kita ingin memberikan bekal yang bisa digunakan anak, kelak, dalam mengarungi samudera kehidupan. Kita semua ingin anak kita sukses. Kita semua, bermimpi suatu saat nanti anak-anak kita akan menjadi seseorang yang sukses, bukan menjadi orang “kaya”.
            Orangtua memahami pentingnya pendidikan sebagai fondasi sukses. Namun sayangnya kebanyakan orangtua kurang kritis dan hanya mengikuti trend yang sedang “in”. Salah satunya adalah mengenai bahasa.
            Ingat zaman dulu, waktu komputer baru menjadi trend, setiap orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya pasti akan bertanya kepada pihak sekolah, ”Di sini ada pelajaran komputer, nggak?”. Mengapa orangtua mengajukan pertanyaan ini? Karena mind-set mereka saat itu adalah kalau anak menguasai ilmu komputer maka anak akan sukses. Benarkah demikian?
            Saat ini yang lagi ”in” adalah bahasa. Pertanyaan yang selalu diajukan oleh kebanyakan orangtua adalah, ”Di sini bahasa pengantarnya apa? Pake Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin, atau hanya bahasa Indonesia?”
            Nah, sama dengan komputer, mengapa orangtua mengajukan pertanyaan ini? Jawabannya juga sama. Karena mereka berpikir bila anak mampu menguasai bahasa asing, Inggris,  atau bahasa Asing, maka anak pasti sukses di hidupnya kelak. Sekali lagi, benarkah demikian?
            Orangtua dan pendidik mempunyai tujuan yang baik dan mulia. Namun sayangnya mereka tidak menyadari bahwa persepsi mereka mengenai sukses didasari oleh asumsi yang kurang tepat. Asumsi adalah sesuatu yang diyakini sebagai hal yang benar tanpa didukung oleh data-data yang valid. Asumsi yang kurang tepat selanjutnya mempengaruhi persepsi. Persepsi ini kemudian menjadi koridor berpikir yang menentukan arah dan hasil proses pikir mereka.
            Nah, kembali ke masalah bahasa. Sebagai orangtua, pendidik, pembicara publik, penulis buku, dosen psikologi, dan juga seorang terapis saya banyak menemukan kasus anak yang ”hang” karena harus memenuhi ambisi dan tuntutan orangtua. Banyak orangtua yang bangga bila anak mereka sejak usia belia telah bisa cas cis cus (baca:berbicara) minimal bahasa Inggris atau kalau bisa sekalian Mandarin.
            Ada klien yang saat di PG/TK disekolahkan di sekolah yang bahasa pengantarnya Inggris. Namun saat masuk SD si anak, karena orangtuanya tidak mampu menyekolahkan di sekolah internasional atau yang bi-lingual karena mahal, masuk ke sekolah biasa dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Anak ini mengalami kesulitan belajar yang luar biasa dan akhirnya mengalami trauma yang cukup berat. Selidik punya selidik ternyata anak ini cukup cerdas. Masalahnya adalah di bahasa. Jelas tidak mungkin kita bisa mempelajari sesuatu dengan bahasa yang kita tidak kuasai. Dalam hal ini anak mengalami double-trauma. Pertama, anak trauma dengan bahasa dan yang kedua adalah dengan materi pelajaran.
            Semua ini terjadi karena orangtua, karena ambisi yang didasari oleh asumsi yang salah, tidak bisa membantu anaknya di rumah. Di sekolah anak harus belajar dengan bahasa Inggris atau Mandarin. Sedangkan di rumah anak berkomunikasi dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Ditambah lagi orangtua juga nggak bisa bahasa Inggris atau Mandarin. Akibatnya sangat fatal bagi perkembangan anak. Dalam hal ini perkembangan kecerdasan linguistik anak menjadi terhambat dan ini mempengaruhi aspek kehidupan lainnya. 
Pernah ada orangtua, yang anaknya saat itu di SD kelas 3 bermasalah akibat dipindahkan dari sekolah biasa ke sekolah dengan pengantar bahasa Inggris, saat konsultasi dengan kami, berkata pada anaknya, saat itu si anak bersin, ”Clean your nose. Jhu jhi. Ambil tisue cepat”.

Hebat kan orangtua ini. Dalam satu kalimat ia menggunakan tiga bahasa sekaligus. ”Clean your nose” artinya bersihkan hidungmu (ini bahasa Inggris). ”Jhu jhi” artinya keluar (ini Mandarin), dan “Ambil tisue cepat” (bahasa Indonesia).

Tolong jangan salah mengerti. Saya tidak anti pendidikan dengan bahasa pengantar bahasa Inggris atau Mandarin. Yang saya ingin sampaikan adalah sebagai orangtua dan pendidik, kita harus hati-hati dan tidak hanya ikut-ikutan trend. Kita harus mendasari tindakan kita dengan alasan dan pengetahuan yang benar.

Pertanyaannya sekarang, ”Kapan waktunya mengajari anak bahasa asing? Bukankah waktu anak kecil otak mereka mampu belajar banyak hal termasuk bahasa? Kalau tidak diajarkan banyak bahasa nanti apa nggak terlambat?”

Saya ingin meluruskan satu hal. Kita boleh menstimulasi anak dengan bahasa apa saja. Namun jangan memaksa mengajar anak banyak bahasa. Lha, apa bedanya? Mengajar mengandung konsekuensi harus bisa. Sedangkan menstimulasi adalah memberikan pengalaman belajar sebanyak-banyaknya, anak tidak harus bisa.

Kesulitan belajar bahasa timbul sebagai akibat proses belajar bahasa yang kurang tepat. Cara belajar yang benar adalah kita belajar bicara dulu. Baru setelah itu kita belajar tulis dan baca. Jadi, dari lisan ke tulisan. Jangan dibalik. Coba perhatikan anak kita saat belajar bahasa ibunya. Anak, saat masuk PG/TK, telah mampu berkomunikasi dengan baik. Saat di sekolah barulah anak belajar membaca dan menulis. Proses ini bisa berjalan mulus karena anak telah menguasai bahasa lisan.

Terlepas dari apa bahasa yang akan kita ajarkan kepada anak, satu yang harus benar-benar orangtua perhatikan adalah anak membutuhkan fondasi untuk menguasai bahasa lainnya, entah itu bahasa asing. Fondasi ini adalah bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia. Mengapa bahasa Indonesia? Ya, karena kita tinggal di Indonesia. Ini bukan masalah nasionalisme namun ini kita bicara proses tumbuh kembang anak.

Menurut Pater Drost, di salah satu tulisannya, pernah bercerita bahwa anak sekolah di Belanda, selama 6 tahun di sekolah dasar hanya diajarkan satu bahasa yaitu bahasa Belanda. Tidak diajarkan bahasa lain. Namun begitu anak-anak itu naik ke SMP dan SMA langsung diajarkan banyak bahasa asing. Hasilnya? Mereka mampu menguasai dengan baik bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis. Kok bisa? Ya karena fondasinya kuat. Anak-anak itu menguasai bahasa ibu mereka, bahasa Belanda, dengan sangat baik.

Lalu, apa hubungan antara apa yang telah saya uraikan panjang lebar dengan judul artikel ini? Sangat erat. Sekarang saya akan membahasnya secara lebih teknis.

Tool atau piranti adalah sesuatu yang membantu kita dalam memecahkan suatu masalah, sebuah instrumen yang membantu kita melakukan suatu tindakan. Selain mengembangkan piranti untuk membantu dan memudahkan kerja, kita juga mencipta dan mengembangkan mental tools/piranti mental, atau piranti pikir, untuk mengembangkan kemampuan mental kita. Mental tools ini membantu kita untuk bisa memperhatikan, mengingat, dan berpikir lebih baik.

Ide mengenai piranti pikir atau mental tools dikembangkan oleh Lev Vygotsky, psikolog Rusia (1896-1934), yang menjelaskan bagaimana anak mengembangkan kemampuan mental yang semakin kompleks.

Para penerus Vygotsky percaya bahwa mental tools memainkan peran yang sangat penting dalam pengembangkan kemampuan berpikir. Seiring dengan proses tumbuh kembangnya, anak secara aktif menggunakan piranti yang telah mereka ciptakan dan kembangkan serta mengembangkan piranti baru sesuai kebutuhan mereka.

Kekurangan atau ketiadaan mental tools membawa akibat jangka panjang negatif terhadap pembelajaran karena mental tools mempengaruhi tingkat berpikir abstrak yang dapat dicapai seorang anak.

Mental tools bermanfaat untuk mempelajari dan memahami konsep abstrak di bidang sains dan matemaika. Tanpa mental tools anak dapat menghafal dan mengeluarkan fakta-fakta saintifik dari memori mereka namun tidak bisa menerapkan pengetahuan ini untuk mencari solusi dari pertanyaan/masalah yang mereka hadapi, yang sedikit berbeda dengan contoh yang telah mereka pelajari sebelumnya.

Kemampuan berpikir abstrak dibutuhkan tidak hanya di sekolah namun juga dalam mengambil berbagai keputusan dalam banyak aspek kehidupan saat dewasa kelak, misalnya bagaimana membeli mobil, memilih investasi keuangan, berpikir level tinggi (analisa, sintesa,dan evaluasi), termasuk juga membesarkan dan mendidik anak yang sudah tentu membutuhkan kematangan dalam kecakapan berpikir.

Bahasa adalah mekanisme untuk berpikir, suatu mental tool. Bahasa membuat berpikir menjadi lebih abstrak, fleksibel, dan independen. Bahasa memungkinkan anak untuk membayangkan, memanipulasi, mencipta ide-ide baru, dan berbagi ide dengan orang lain. Dengan demikian bahasa mempunyai dua fungsi utama; bahasa penting untuk mengembangkan kemampuan pikir dan bahasa juga merupakan bagian dari proses pikir.

Bahasa dapat digunakan untuk mencipta berbagai strategi untuk menguasai banyak fungsi mental seperti atensi, memori, perasaan, dan pemecahan masalah.

Salah satu kekuatan pendekatan Vygotsky adalah ia tidak hanya berbicara pada tataran teori namun juga praktik. Apa yang ia formulasikan telah dicobakan dalam mengajar mental tools pada anak-anak. Sebagai pembanding terhadap pendekatan Vygotsky pembaca bisa mempelajari pemikiran Piaget (constructivism), Watson dan Skinner (behaviorism), Freud (psychoanalysis), Koffka (Gestalt psychology), dan Montessori.

Terdapat empat prinsip yang mendasari pendekatan Vygotsky yaitu:
1)      1. Anak mengkonstruk pengetahuan
2)      2. Pengembangan diri anak tidak bisa dipisahkan dari konteks social
3     3. Pembelajaran dapat membantu pengembangan diri
4)      4. Bahasa memainkan peran vital dalam pengembangan mental

Bila kita cermati maka keempat prinsip di atas semua menggunakan bahasa sebagai medianya. Tidak mungkin tanpa bahasa. Oleh sebab itu penguasaan bahasa, khususnya bahasa ibu, dengan baik mutlak dibutuhkan agar anak mampu berkembang secara optimal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Pengunjung